Jumat, 05 Mei 2017

Video Sejarah bangsa pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan aksi polisionil II dan menangkapi pemimpin Republik di Yogyakarta

Video Sejarah bangsa pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan aksi polisionil II dan menangkapi pemimpin Republik di Yogyakarta.




Belanda tak mengakui Perjanjian Renville dan menggelar Agresi Militer II di Yogyakarta.

Menjelang subuh di Maguwo. Tak disangka, pasukan khusus Belanda mendadak menduduki lapangan udara yang kini bernama Adisucipto itu. Dan, beberapa jam kemudian, ibu kota Republik, Yogya, diduduki Belanda. Akibatnya, tragis buat republik yang masih seumur jagung:  Pimpinan Negara ditawan. Itu terjadi Minggu 19 Desember 1948 suatu masa yang belum terlalu jauh. Penawanan Soekarno-Hatta itulah yang menyebabkan kevakuman pimpinan negara dan pemerintahan.

Peristiwa 19 Desember itu menjadi bahan olok-olok di kalangan tentara untuk mencemooh pemimpin-pemimpin politik sebagai orang-orang yang tidak ikut berjuang menegakkan kemerdekaan.

Menurut sebuah catatan, dalam ceramah di muka para sejarawan di UI pada 8 Februari 1973, Bung Hatta mengatakan ada dua kemungkinan kala itu. Pertama: Presiden dan Wakil Presiden mengungsi ke luar kota dengan dikawal satu batalyon tentara. Kedua: ditawan oleh Belanda di Yogya, tapi masih dekat dengan Komite Tiga Negara (KTN). Pilihan terakhir inilah yang dipilih, karena memberi peluang adanya perundingan.

Hal senada pun diungkapkan Soekarno lewat biografinya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat. Dalam suatu dialog dengan Jenderal Sudirman, Soekarno berkata: “Dirman engkau seorang prajurit. Tempatmu di medan pertempuran dengan anak buahmu. Dan tempatmu bukanlah tempat pelarian bagi saya. Saya harus tinggal di sini, dan mungkin bisa berunding untuk kita dan memimpin rakyat kita semua.” Sebuah perbedaan sikap, memang. Tapi, “Konflik yang nyata sipil-militer sebenarnya tidak ada,” kata T.B. Simatupang. “Secara psikologis, menyerahnya pimpinan sipil itu menimbulkan perasaan tidak enak di kalangan militer yang waktu itu memelopori peperangan bersenjata di kalangan rakyat,” tambahnya. Tapi diakui, inilah yang kemudian, “memang melandasi sikap tidak percaya kalangan militer terhadap pimpinan sipil pada masa-masa berikutnya,” kata Simatupang.Kol TB. Simatupang (28 tahun) merenungkan ulang rentetan peristiwa pada hari itu. Perasaan yang memenuhi dirinya kemudian direkam dalam memoir perjuanganLaporan dari Banaran (Jakarta, 1960 & 1978). Tulisannya, menyimpulkan gumpalan perasaan pada malam itu yang memenuhi dirinya: “Yogyakarta telah jatuh. Presiden, Wakil Presiden dan pemimpin-pemimpin besar kita yang lainnya telah tertawan. Akan tetapi, apakah dengan itu Republik kita telah mati? Ada seorang penulis, kalau saya tidak salah Machiavelli, yang pernah kurang lebih berkata bahwa benteng yang terakhir dari negara adalah dalam hati prajurit-prajuritnya – Apakah Republik kita ini mati atau hidup sekarang memang terutama tergantung dari pertanyaan, apakah dia masih tetap hidup atau tidak dalam hati perwira-perwira, bintara-bintara, dan prajurit-prajurit TNI. Jawaban atas pertanyaan ini akan diberikan oleh perkembangan pada hari-hari dan minggu-minggu yang datang.”


Sumber : sejarahbangsa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bung Karno Mencari dan Menemukan Tuhan

Bung Karno Mencari dan Menemukan Tuhan  Ketika seseorang sedang dirundung masalah yang sangat berat dalam hidupnya, tidak ada yang sa...